Jumat, 06 Mei 2011

MIMPI YANG TERTUNDA TENTANG KESEHATAN INDONESIA


“Bagaimana realisasi sebuah mimpi Indonesia sehat 2010 kini?”
Sebuah pertanyaan sederhana yang bisa terlontar oleh siapa saja, namun pasti terasa sulit untuk menjawabnya. Kenapa? Jelas, memasuki tahun 2011 mimipi besar tersebut pada kenyataannya masih berada jauh di atas awan. Masih banyak PR terkait kebijakan kesehatan yang masih belum tertangani termasuk target Indonesia sehat 2010. Mudah saja mengukurnya,salah satunya dengan mengkomparasikan antara realitas dan indicator keberhasilan yang merujuk pada indicator Indonesia sehat 2010 berdasarkan keputusan menteri kesehatan No.1202/MENKES/SK/VIII/2003.
Urusan kesehatan merupakan urusan yang dekat sekali dengan rakyat. Upaya –upaya pemerintah dalam mereformasi bidang kesehatan yang dimulai sejak 1999 hingga kini memang patut diacungi jempol. Banyak kemajuan yang secara langsung dapat kita rasakan. Namun, dua belas tahun pasca dicanangkannya mimpi Indonesia sehat 2010,realitas kondisi kesehatan Indonesia dirasa masih jauh dari harapan. Jika boleh kita bandingkan dengan negara-negara tetangga, posisi Indonesia masih berada di urutan bawah dalam hal kualitas pelayanan dan pengadaan tenaga kesehatan dan menduduki urutan atas dalam hal angka kejadian mortalitas dan morbiditas.
Secara lebih spesifik salah satu indikator belum maksimalnya realisasi program  Indonesia sehat 2010 bisa kita lihat pada angka kematian ibu (AKI) yang mencapai 307 per 100.000 kelahiran hidup dan angka kematian bayi (AKB) 35 per 1.000 kelahiran hidup (2010). Itu berarti setiap tahun ada 13.778 kematian ibu atau setiap dua jam ada dua ibu hamil, bersalin, nifas yang meninggal karena berbagai penyebab,Permasalahan ini masih menjadi konsen utama yang harus segera diselesaikan, mengingat angka kejadian di Indonesia termasuk yang tertinggi di dunia.
            Angka-angka tersebut bisa dikatakan telah mampu merepresentasikan secara keseluruhan bagaimana kondisi kesehatan di indonesia. Banyak factor memang yang meletarbelakangi, factor internal budaya masyarakat maupun individu dan factor eksternal yang meliputi kebijakan pemerintah dalam hal pelaksanaan pelayanan kesehatan baik dari segi orientasi kebijakan, pengadaan akses kesehatan, dan standarisasi tenaga kesehatan.
Tantangan Budaya kesehatan masyarakat dan individu
            Persoalan budaya masih menjadi permasalahan alot karena beraitan dengan  kebiasaan dan karakter. Budaya/kebiasaan masyarakat menjadi bermasalah ketika budaya tersebut bertentangan dengan prinsip-prinsip kesehatan, yang sepele saja, misanya pantangan makan ikan bagi ibu pasca salin, kecenderungan pergi ke dukun untuk mendapatkan kesembuhan yang ternyata di era modern saat ini fenomena tersebut masih berkembang di masyarakat. Maka peran kaum intelektual menjadi penting dalam hal upaya pemberian edukasi kepada masyarakat dengan tetap mengacu pada aspek manusia sebai makhluk holistic.
Disorientasi Kebijakan pemerintahdan
Meskipun sudah disepakati bahwa biaya kuratif lebih tinggi dibandingkan promotif dan preventif tetap saja upaya pemerintah masih berfokus pada kuratif. Yang lebih menyedihkan lagi, jika dibandingkan tahun 2009, anggaran yang disediakan untuk realisasi program promotif dan preventif kesehatan per desember 2010 menjadi lebih seidikit. Kalaupun program promotif dan preventif terlaksana, pelaksanaannya masih menitik beratkan pada serimonial saja. Padalah bidang garap promotif dan preventif memiliki potensi besar jiika dilaksanakan secara efektif, intensif, dan kontinyu. Terlebih dampak kebijakan kesehatan melalui program promotif dan preventif menduduki porsi lebih besar dan lebih luas dibandingkan program kuratif.
Aksesibilitas pelayanan kesehetan yang kurang memadai
            Bagi kelompok masyarakat yang hidup di kota dengan akses pelayanan kesehatan yang memadai tidak akan menjadi masalah. Namun, permasalahan muncul ketika akses pelayanan kesehatan yang mudah masih menjadi mimpi bagi saudara kita yang hidup jauh didaerah pedalaman. Padahal, seperti yang dibahas diatas mengenai tingginya angka kematian ibu dan bayi, salah satunya disebabkan karena minimnya akses menuju pelayanan kesehatan. Harusnya ini menjadi sebuah PR besar yang harus segera diselesaikan.
Kompleksitas masalah pemberi layanan kesehtan
               Lain lagi dengan permasalahan tenaga kesehatan Indonesia. Sampai saat ini UU tentang tenaga kesehatan belum banyak disinggung. Hal ini berbuntut panjang pada tataran teknis pelayanan kesehatan di masyarakat. Seperti halnya minimnya tenaga dokter di daerah terpencil, sehingga perawat sebagai satu-satunya tenaga kesehatan yanga ada terpaksa yang melakukan tindakan medis. Secara legalitas ini melanggar hukum karena jelas-jelas mengambil wewenang profesi lain. Namun secara aspek manusiawi ini harus dilakukan. Selain itu distribusi tenaga kesehatan yang tidak merata, kualitas pendidikan kesehatan yang tidak terstandarisasi dan kasus tenaga kesehatan di luar negeri yang mengalami down grade level juga harus diperhatikan secara serius.

               Sebuah harapan besar bahwa jargon besar Indonesia Sehat 2010 yang telah berganti menjadi Indonesia sehat 2015 bukan hanya jargon kosong ataupun sekedar deretan kalimat-kalimat langit yang indah namun tidak mampu direalisasikan. Kompleksitas masalah bukan menjadi penghalang jika semua elemen masyarakat berkomitmen serius menangani masalah kesehatan ini. Yang pasti sebuah arahan dan indicator pencapaian yang jelas menjadi menjadi suatu hal yang mutlak ada. Mampukah?



Tidak ada komentar:

Posting Komentar